Beberapa hari terakhir, percakapan yang terjadi berputar pada politik kampus yang kini sedang berjalan. Beberapa rekan mahasiswa bahkan berkunjung sekedar untuk meminta pendapat, mengatur siasat, silaturahmi dan juga ada yang meminta untuk menjalin kontrak.

Semuanya seolah membawa kenangan terhadap rutinitas tahunan yang sangat dinanti karena keseruan dinamika dan polemik yang dihasilkan, sayangnya dari hal itu pula saya menyadari bahwa ternyata mahasiswa belum bisa beranjak dari masa lalunya sepeti pemikiran pragmatis yang seharusnya di tentangnya.

Bukan bermaksud untuk menggeneralkan semua, namun mahasiswa masih melihat dan berorientasi bahwa pesta politik itu tiada lain adalah meja perebutan kekuasaan untuk individu atau golongan atas nama jabatan, penghormatan atau juga uang. ini memang soal politik, dan ini memang soal kekuasaan, hanya saja konsep yang mesti di pahami atas itu kelak yang akan membedakan dampak yang dihasilkan.

Masih dalam perbincangan politik kampus, pertemuan yang hadir sangat jarang mempertontonkan percakapan intelektual akan misi yang diemban dalam kerangka genuin yang memang merupakan persoalan yang dibutuhkan. Justru yang hadir adalah percakapan (deal:deal) (baca:kuasa serta pemetaan, yang hilang akan narasi keadilan. Demokrasi hanya dilihat sebagai kendaraan menuju singgasana tanpa menyadari bahwa singgasana itu menuntut konsekuensi kemanusiaan.

Terlalu sering kita melupakan bahwa kuasa itu selaras dengan tanggungjawab, sehingga kita berlomba menggapai kuasa dan menikmatinya hingga akhirnya lupa dan lalai dari tanggungjawab dibaliknya.

Tentunya saya masih kagum terhadap mereka yang memilih berlindung dibalik tembok buku dengan baca realitas yang begitu semraut dihadapannya, yang dengan sumringah bertukar wacana bersama kawannya sekedar berbagi nikmat kesadaran yang sejatinya paling dibutuhkan manusia. Mereka tetap setia bergerak dibalik hingar bingar bermodalkan papan tulis dan pena. Tak tergiur akan haus kekuasaan namun juga tak menjadi lampau (kesmobongan) atas isi kepalanya.

Mereka turun kedunia politik atas dasar kesadaran mulia dan bukan nafsu kuasa dan tetap setia didepan papan tulisnya untuk merealitaskan segala makna. Kita butuh pemimpin yang merupakan guru maupun pelayan, bukan pemimpin yang bertindak sebagai bos namun dibelakang merupakan budak/boneka/robot. Terpujilah kalian kawan.

Penulis : Anonim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *